Salah satu pengalaman yang paling berkesan selama PTT di
Nduga adalah ketika aku harus merujuk pasien. Karena tidak ada akses darat
ataupun akses sungai, maka mau ngga mau satu-satunya akses yang bisa digunakan
adalah akses udara (menggunakan pesawat atau helicopter). Berhubung jadwal pesawat yang terbang ke Mugi
itu tidak tetap alias tidak teratur, makanya kita tidak bisa pastikan kapan
pesawat bisa datang. Dan ini bisa menjadikan kesulitan tersendiri….
Ada
tiga cara yang bisa digunakan ketika kita mau merujuk pasien dari Mugi….
- Menggunakan pesawat yang memang sudah ada rencana terbang ke Mugi
- Memanggil pesawat yang kebetulan sedang terbang ke daerah sekitar untuk “mampir” menjemput pasien di Mugi
- Sengaja memanggil pesawat atau heli dari Wamena untuk datang menjemput pasien
![]() |
Helicopter milik Helli Vida |
Kalo kondisi pasiennya tidak terlalu gawat, maka biasanya
kita akan menunggu datangnya pesawat ke Mugi, dan ini bisa memakan waktu
berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu, misalnya pada pasien bapak YG. Tetapi jika pasiennya gawat dan butuh
dirujuk cepat, maka kita akan meminta pesawat yang sedang terbang ke daerah
sekitar (kalo ada -pen) untuk “mampir” menjemput pasien di Mugi. Atau jika
pasiennya benar-benar gawat dan tidak ada pesawat yang terbang di wilayah
sekitar, maka kita akan berusaha meminta langsung ke maskapai penerbangan di
Wamena untuk mengirim pesawatnya guna menjemput pasien (biasanya dari maskapai MAF atau AMA). Tapi kalo lokasinya jauh dari landasan dan pasien tidak memungkinkan
untuk datang ke landasan, maka kita akan meminta bantuan Hellimission a.k.a
Helli Vida untuk dikirimkan Helicopter penjemput pasien. Tapi terkadang inipun
ngga mudah…..
Sedangkan pasien rujukan kedua alhamdulillah bisa terkirim
dengan lancar, dan inilah yang akan aku ceritakan kali ini….
Ceritanya waktu itu hari minggu pagi… Kepala Puskesmas alias
kapusku yang sudah beberapa bulan tinggal bersama-sama aku di rumah dinas
dokter, baru saja selesai mandi dan bersiap-siap akan pergi ke gereja. Ketika
kami sedang berbincang-bincang, tiba-tiba ada yang mengetok pintu
rumah…kemudian Pak Marthen alias kapusku keluar menemui orang yang mengetuk
pintu tersebut. Sedangkan aku kemudian masuk kembali ke dalam kamar….
Tak berapa lama kemudian Pak Marthen pun masuk kembali ke
dalam rumah dan memanggilku. Pak Marthen bilang ke aku kalo orang tadi
melaporkan ada pasien di kampung sana…
“Pasien apa bapak?”, tanyaku
“Pasien perempuan Pa Dok….dia sudah melahirkan hari jum’at, tapi
dia punya “itu” masih di dalam…”, jawab Pak Marthen
“ “itu” apa bapak?? Plasentanya kah??”
“iya…iya Pa Dok, plasentanya masih di dalam….baru dia punya
tali pusat juga belum dipotong”
“baru pasien itu sekarang kondisinya bagaimana Bapak?”
“aiihhh…sungguh mati Pa Dok…pasien itu sekarang susah…dia tidur-tidur
saja di honai, tidak bisa kemana-mana….susah ini….”
“baru bayinya bagaimana?”
“bayinya biasa Pa Dok…dia masih bisa menyusu…”
“kalau begitu kita kesana Bapak”
“tapi dia punya rumah itu jauh Pa Dok…”
Sekilas aku lihat ada keraguan di wajah dan nada suara Pak
Marthen. Mungkin dia ngga enak kalo aku harus mendatangi rumah pasien ini
karena rumahnya memang jauh…
“Biar nanti mantri Parkim saja yang ke sana pa dok” lanjut Kapusku……(mantri Parkim
adalah mantri yang baru pindah dari Mapenduma ke Mugi, dan dia masih muda,
sekitar 35 tahunan)
“Ah, tidak apa Bapak....memangnya rumah pasien ini dimana
kah?”, tanyaku
“jauh Pa Dok…bukan dekat ini…ada di kampung wanduama atas..”
“ohh…itu dimana kah?”
“disana pa dok….” Kata kapusku, sambil menunjuk kearah bukit
di sebelah…
Nampak di kejauhan sebuah kampung yang ada di bukit
sebelah…memang tidak terlalu jauh kelihatannya, tapi aku udah pernah dapet
pelajaran selama disini: ”don’t believe your eyes”…karena tempat yang kadang
terlihat ngga terlalu jauh, eehhh…pas didatengin ternyata jauhhh bangett…sampe
ada istilah “dekat dimata jauh di kaki…” hehehe…
contohnya distrik yigi yang terlihat “ngga terlalu jauh”
jika dilihat dari kampung yall…ternyata pas didatengin....ehhh, makan waktu 4,5
jam jalan kaki….nasiibbb. Ya itulah tadi, dekat dimata jauh dikaki….hehehe
Walaupun kata kapusku tempatnya jauh dan kapusku kayak yang
lagi ngga semangat buat jalan, tapi aku tidak bergeming dan tetep keukeuh
dengan pendirianku. Kemudian akupun menjawab:
“Ah, tidak apa bapak…kita ke sana sudah…”
Singkat cerita, kapusku pun akhirnya manut dan lalu dia memanggil istrinya dan juga mantri Parkim.
Kemudian kamipun berangkat ke Puskesmas untuk mengambil perlengkapan seperti
sarung tangan, anti septic, gunting, obat, dsb. Kemudian kami berempat dan di
temani seorang keluarga pasien berangkat menuju rumah pasien.
Perjalanannya ternyata memang cukup jauh…dan rutenya mirip
huruf “W”. Kami berjalan menuruni bukit kemudian menyebrangi sungai, lalu naik bukit lagi, kemudian turun lagi, nyebrang sungai lagi kemudian naik lagi….dan
setelah dua jam perjalanan barulah kita sampai di rumah pasien. Jadi rutenya
memang seperti huruf “W”.
Perjalanannya sendiri memang menantang, bahkan sempat bikin
aku takut juga…. :p Tepatnya ketika aku berjalan menyusuri pinggiran sungai
yang pertama (sungai kibi), dimana di sisi sungai tersebut terdapat batu-batuan
cukup besar yang rawan longsor….dan waktu itu di Nduga memang sedang musim
longsor…. Pokoknya kalo batuan itu sampe longsor…well then, surely I’m not gonna be able to wrote this story for you
guys… :)
bagian inilah yang paling bikin aku takut..........takut batunya longsor!! |
Makanya pas pulangnya aku gak berani lagi lewat rute yang
sama, dan lebih memilih menyebrang lewat sisi sungai yang lain dengan jembatan
darurat berupa sebatang pohon dengan diameter sebesar paha… Yup!! Saking
takutnya sama longsor aku sampe lebih milih nyebrang lewat jembatan kecil
dengan resiko terpeleset & jatuh ke sungai yang arusnya lumayan deras…..
jembatan darurat |
Selain tantangan longsoran dan jembatan darurat tersebut
sisanya ngga terlalu danger lagi sih….paling hanya lewati bekas longsoran dengan
derajat kemiringan yang lumayan curam….sisanya sih…berjuang melawan tipisnya
kadar oksigen di gunung!! Hehehe…
terjal euy..!! |
Tiba Di Rumah Pasien
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan selama kurang lebih
dua jam, akhirnya kamipun tiba di kampung wanduama atas, tempat pasien berada. Ada beberapa honai yang
terdapat disana. Sejenak aku menarik nafas dan menikmati dulu pemandangan yang
terhampar dari sini. Setelah cukup beristirahat kamipun menuju ke honai pasien.
Sebelum masuk honai dan memeriksa pasien, kami sempat berdoa bersama-sama
didepan honai pasien.
kondisi pasien dan bayinya |
Didalam honai nampak seorang ibu terbaring dengan seorang
bayi mungil dalam pelukannya. Nampak tali pusat bayi tersebut masih menyambung,
dan belum dipotong. Kondisi ibu ini nampak agak lemah, tapi masih tergolong
cukup baik. Ibu ini juga masih bisa berkomunikasi dengan baik. Kemudian aku
periksa ibu ini sebentar sambil mempersiapkan peralatan. Ibu ini aku infus, aku
beri suntikan antibiotik dan kemudian aku gunting tali pusat bayinya. Namun aku
kemudian ngga melakukan tindak lanjutan alias “periksa dalam” ataupun mencoba
mengeluarkan plasentanya dari kandungan ibu ini ….ngga, aku ngga lakukan itu…
Alasannya, pertama karena tabu bagi pasien perempuan untuk diperiksa
“dalemannya” oleh dokter laki-laki. Alasan kedua adalah: takut terjadi
komplikasi. Gimana kalo pas dilakukan tindakan kemudian terjadi perdarahan??
Dan pasien yang tadinya dalam kondisi stabil malah jadi perdarahan…… repot juga
nanti, karena lokasinya “in the middle of
nowhere”, belum lagi nanti reaksi keluarganya…. Berabe deh kalo sampe terjadi apa-apa dan ntar malah aku yang disalahin keluarganya….
Makanya aku cari amannya aja, save the
baby dan menyiapkan ibu ini untuk dirujuk.
Karenanya kemudian aku jelaskan ke keluarganya kalo ibu ini
harus dirujuk, karena keadaan ini merupakan keadaan darurat yang dapat
mengancam nyawa sang ibu dan membutuhkan penanganan segera. Awalnya aku
tanyakan apakah keluarga bisa membawa pasien ini ke landasan pesawat karena besok
pagi ada pesawat yang akan datang. Namun keluarga tidak menyanggupi, alasannya
karena kondisi pasien ini cukup lemah….keluarga takut terjadi apa-apa diperjalanan.
Disamping itu juga karena jembatan disungai hanyut karena banjir, dan yang ada
hanya jembatan darurat dari sebatang pohon yang tentu saja berbahaya jika
disebrangi dengan membawa pasien dengan tandu.
Oke…karena pasien ini tidak bisa kita bawa ke landasan
pesawat, maka kita terpaksa harus menggunakan alternatif rujukan yang lain:
Menggunakan Helicopter!
mempersiapkan tempat untuk pendaratan helicopter |
Kamipun kemudian berunding dengan pihak keluarga pasien
mengenai mekanisme dan persiapan yang harus dilakukan dalam merujuk pasien
menggunakan helicopter. Aku sempat bilang kalo biasanya pihak Helli Vida tidak
mau menjemput pasien yang jaraknya relatif dekat dengan landasan pesawat
(kampung ini berjarak 1,5 – 2 jam jalan kaki dari landasan pesawat – ukuran
yang relatif dekat untuk standar orang sini). Tapi aku bilang kami akan tetap berusaha mencoba
untuk memanggil pihak Helli Vida, dan akan memberikan tanda dengan asap apabila
panggilan kami berhasil. Kemudian kamipun meninjau dan mempersiapkan tempat
untuk pendaratan heli. Mantri Parkim kemudian memerintahkan pihak keluarga
untuk menebang pohon disekitar tempat tersebut agar nantinya heli bisa mendarat di situ.
Setelah selesai, kamipun kemudian kembali pulang ke Mugi.
Waktu itu hanya aku dan mantri Parkim saja yang pulang….sedangkan Pak Marthen
dan istrinya masih harus menunggui pasien karena pasien dalam keadaan terpasang infus.
Pas pulang, keluarga pasienpun tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan memberiku
seekor ayam, beberapa buah pisang dan sayur labu siam. Lumayan buat dimasak
dirumah….hehehe
pisang dan sayuran dari pasien |
Ternyata pas perjalanan pulang hujan turun dengan derasnya,
dan aku ngga bawa payung…..perfect!!
Kontak Helli Vida
Keesokan harinya aku dan mantri Parkim berbagi tugas, dia
berusaha menghubungi kembali Helli Vida lewat radio SSB (setelah sore kemarin
dia juga sudah coba mengontaknya). Sedangkan tugasku menyampaikan pesan ke
Helli Vida melalui perantara pilot dari Pesawat AMA yang datang pagi itu.
Singkat cerita, kamipun berhasil mengkontak Helli Vida dan
mereka rencananya akan datang pada flight ke – 2. Kamipun memberi tanda
berhasil dengan menggunakan asap, supaya keluarga pasien di bukit sebelah bisa
melihat kode ini dan mempersiapkan diri.
Beress…sekarang tinggal nunggu helinya datang…
Akupun pulang dulu ke rumah untuk masak dan sarapan. Selesai
masak dan ketika aku sedang makan…tiba-tiba terdengar suara helicopter terbang
mendekat. Awalnya aku pikir pilot tersebut sudah mengetahui lokasi kampung yang
dituju….eh ternyata....gara2 keluarga pasien ngga ngasih kode ke pilot, akhirnya
pilot tersebut sempat bingung dan terbang berputar-putar di mugi. Setelah
berputar-putar beberapa kali, akhirnya heli tersebut memilih mendarat di ujung
bawah landasan. Akupun kemudian berlari dari rumah menuju heli
tersebut, tujuannya memberi tahu pilot lokasi dari pasien yang akan dijemput.
Rupanya kedatangan heli ini membuat semua orang antusias….anak-anak sekolah
yang sedang belajar di kelas, bahkan para gurunyapun berhamburan keluar kelas.
Rupanya mereka penasaran pengen liat heli….. :D
Anak sekolah dan para guru berhamburan keluar kelas demi sang heli.... :D |
(di sini, pesawat memang merupakan hiburan satu-satunya bagi masyarakat….namanya juga di tempat terpencil yang tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa tv…makanya kalo ada pesawat yang datang, masyarakat banyak yang berkumpul untuk menonton. Anak sekolah dan para gurupun kadang ikut2an keluar dari kelas buat nonton pesawat yang datang….sekali lagi, namanya juga dipedalaman….hehehe)
Setibanya di lokasi heli, akupun menemui pilotnya. Aku
memperkenalkan diri dan kamudian menunjukkan lokasi kampung si pasien. Aku juga
jelaskan ke pilotnya bahwa kami sudah mempersiapkan tempat untuk pendaratan
heli di kampung tersebut. Kemudian pilot tersebut naik kembali dan membawa
helinya terbang ke kampung wanduama atas. Heli tersebut mendarat selama kurang
lebih 20 menit disana. Setelah itu heli itupun terbang dengan membawa pasien
dan keluarganya.
Sungguh, ada perasaan bahagia luar biasa melihat heli itu bisa terbang
membawa pasien menuju Wamena….ya maklumlah, karena rujukanku kali ini tergolong
berhasil dibanding rujukanku menggunakan heli sebelumnya yang bisa dibilang
gagal.
Kurang lebih satu minggu kemudian, Pasien ini sudah kembali
ke Mugi. Rupanya penanganan dan pengobatan terhadap pasien ini di Kota Wamena berjalan
dengan baik. Pasienpun kemudian kembali kekampungnya, dengan berjalan kaki
menggendong bayinya….dan keduanya berada dalam kondisi yang sehat.
Alhamdulillah….. :)
Mugi, maret 2013
Mugi, maret 2013
Dokumentasi perjalanan seru kali ini:
berangkat,,, |
mendaki gunung....turuni lembah... |
sungai mengalir indah....ke samudera... |
capek euy... |
lanjut... |
awas longsor! |
membelah hutan |
akhirnya, nyampe juga......nampak mugi dikejauhan... |
berdoa bersama untuk kesembuhan pasien... |
heli mendarat di kampung wanduama atas....amazing! |
No comments:
Post a Comment