running text

WELCOME TO MY BLOG...

Thursday, May 9, 2013

Heli Datanglah….Saya Mau Rujuk Pasien….



Salah satu pengalaman yang paling berkesan selama PTT di Nduga adalah ketika aku harus merujuk pasien. Karena tidak ada akses darat ataupun akses sungai, maka mau ngga mau satu-satunya akses yang bisa digunakan adalah akses udara (menggunakan pesawat atau helicopter).  Berhubung jadwal pesawat yang terbang ke Mugi itu tidak tetap alias tidak teratur, makanya kita tidak bisa pastikan kapan pesawat bisa datang. Dan ini bisa menjadikan kesulitan tersendiri….

Ada tiga cara yang bisa digunakan ketika kita mau merujuk pasien dari Mugi….

  1. Menggunakan pesawat yang memang sudah ada rencana terbang ke Mugi
  2. Memanggil pesawat yang kebetulan sedang terbang ke daerah sekitar untuk “mampir” menjemput pasien di Mugi
  3. Sengaja memanggil pesawat atau heli dari Wamena untuk datang menjemput pasien

Helicopter milik Helli Vida
Kalo kondisi pasiennya tidak terlalu gawat, maka biasanya kita akan menunggu datangnya pesawat ke Mugi, dan ini bisa memakan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu, misalnya pada pasien bapak YG. Tetapi jika pasiennya gawat dan butuh dirujuk cepat, maka kita akan meminta pesawat yang sedang terbang ke daerah sekitar (kalo ada -pen) untuk “mampir” menjemput pasien di Mugi. Atau jika pasiennya benar-benar gawat dan tidak ada pesawat yang terbang di wilayah sekitar, maka kita akan berusaha meminta langsung ke maskapai penerbangan di Wamena untuk mengirim pesawatnya guna menjemput pasien (biasanya dari maskapai MAF atau AMA). Tapi kalo lokasinya jauh dari landasan dan pasien tidak memungkinkan untuk datang ke landasan, maka kita akan meminta bantuan Hellimission a.k.a Helli Vida untuk dikirimkan Helicopter penjemput pasien. Tapi terkadang inipun ngga mudah…..

Aku sudah dua kali meminta bantuan Helli Vida untuk merujuk pasien. Rujukan yang pertama, karena kesulitan untuk mengkontak mereka, akhirnya helli tersebut terlambat datang dan baru datang 9 hari kemudian (karena selalu gagal kontak). Dan yang membuat sedih adalah….heli tersebut baru datang sehari setelah pasiennya meninggal dunia…. :(


Sedangkan pasien rujukan kedua alhamdulillah bisa terkirim dengan lancar, dan inilah yang akan aku ceritakan kali ini….


Ceritanya waktu itu hari minggu pagi… Kepala Puskesmas alias kapusku yang sudah beberapa bulan tinggal bersama-sama aku di rumah dinas dokter, baru saja selesai mandi dan bersiap-siap akan pergi ke gereja. Ketika kami sedang berbincang-bincang, tiba-tiba ada yang mengetok pintu rumah…kemudian Pak Marthen alias kapusku keluar menemui orang yang mengetuk pintu tersebut. Sedangkan aku kemudian masuk kembali ke dalam kamar….

Tak berapa lama kemudian Pak Marthen pun masuk kembali ke dalam rumah dan memanggilku. Pak Marthen bilang ke aku kalo orang tadi melaporkan ada pasien di kampung sana…

“Pasien apa bapak?”, tanyaku
“Pasien perempuan Pa Dok….dia sudah melahirkan hari jum’at, tapi dia punya “itu” masih di dalam…”, jawab Pak Marthen
“ “itu” apa bapak?? Plasentanya kah??”
“iya…iya Pa Dok, plasentanya masih di dalam….baru dia punya tali pusat juga belum dipotong”
“baru pasien itu sekarang kondisinya bagaimana Bapak?”
“aiihhh…sungguh mati Pa Dok…pasien itu sekarang susah…dia tidur-tidur saja di honai, tidak bisa kemana-mana….susah ini….”
“baru bayinya bagaimana?”
“bayinya biasa Pa Dok…dia masih bisa menyusu…”
“kalau begitu kita kesana Bapak”
“tapi dia punya rumah itu jauh Pa Dok…”

Sekilas aku lihat ada keraguan di wajah dan nada suara Pak Marthen. Mungkin dia ngga enak kalo aku harus mendatangi rumah pasien ini karena rumahnya memang jauh…

“Biar nanti mantri Parkim saja yang ke sana pa dok” lanjut Kapusku……(mantri Parkim adalah mantri yang baru pindah dari Mapenduma ke Mugi, dan dia masih muda, sekitar 35 tahunan)
“Ah, tidak apa Bapak....memangnya rumah pasien ini dimana kah?”, tanyaku
“jauh Pa Dok…bukan dekat ini…ada di kampung wanduama atas..”
“ohh…itu dimana kah?”
“disana pa dok….” Kata kapusku, sambil menunjuk kearah bukit di sebelah…

Nampak di kejauhan sebuah kampung yang ada di bukit sebelah…memang tidak terlalu jauh kelihatannya, tapi aku udah pernah dapet pelajaran selama disini: ”don’t believe your eyes”…karena tempat yang kadang terlihat ngga terlalu jauh, eehhh…pas didatengin ternyata jauhhh bangett…sampe ada istilah “dekat dimata jauh di kaki…” hehehe…
contohnya distrik yigi yang terlihat “ngga terlalu jauh” jika dilihat dari kampung yall…ternyata pas didatengin....ehhh, makan waktu 4,5 jam jalan kaki….nasiibbb. Ya itulah tadi, dekat dimata jauh dikaki….hehehe

Walaupun kata kapusku tempatnya jauh dan kapusku kayak yang lagi ngga semangat buat jalan, tapi aku tidak bergeming dan tetep keukeuh dengan pendirianku. Kemudian akupun menjawab:

“Ah, tidak apa bapak…kita ke sana sudah…”

Singkat cerita, kapusku pun akhirnya manut dan lalu dia memanggil istrinya dan juga mantri Parkim. Kemudian kamipun berangkat ke Puskesmas untuk mengambil perlengkapan seperti sarung tangan, anti septic, gunting, obat, dsb. Kemudian kami berempat dan di temani seorang keluarga pasien berangkat menuju rumah pasien.

Perjalanannya ternyata memang cukup jauh…dan rutenya mirip huruf “W”. Kami berjalan menuruni bukit  kemudian menyebrangi sungai, lalu naik bukit lagi, kemudian turun lagi, nyebrang sungai lagi kemudian naik lagi….dan setelah dua jam perjalanan barulah kita sampai di rumah pasien. Jadi rutenya memang seperti huruf “W”.

Perjalanannya sendiri memang menantang, bahkan sempat bikin aku takut juga…. :p Tepatnya ketika aku berjalan menyusuri pinggiran sungai yang pertama (sungai kibi), dimana di sisi sungai tersebut terdapat batu-batuan cukup besar yang rawan longsor….dan waktu itu di Nduga memang sedang musim longsor…. Pokoknya kalo batuan itu sampe longsor…well then, surely I’m not gonna be able to wrote this story for you guys:)



bagian inilah yang paling bikin aku takut..........takut batunya longsor!!

Makanya pas pulangnya aku gak berani lagi lewat rute yang sama, dan lebih memilih menyebrang lewat sisi sungai yang lain dengan jembatan darurat berupa sebatang pohon dengan diameter sebesar paha… Yup!! Saking takutnya sama longsor aku sampe lebih milih nyebrang lewat jembatan kecil dengan resiko terpeleset & jatuh ke sungai yang arusnya lumayan deras…..

jembatan darurat

Selain tantangan longsoran dan jembatan darurat tersebut sisanya ngga terlalu danger lagi sih….paling hanya lewati bekas longsoran dengan derajat kemiringan yang lumayan curam….sisanya sih…berjuang melawan tipisnya kadar oksigen di gunung!! Hehehe…

terjal euy..!!



Tiba Di Rumah Pasien
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan selama kurang lebih dua jam, akhirnya kamipun tiba di kampung wanduama atas, tempat pasien berada. Ada beberapa honai yang terdapat disana. Sejenak aku menarik nafas dan menikmati dulu pemandangan yang terhampar dari sini. Setelah cukup beristirahat kamipun menuju ke honai pasien. Sebelum masuk honai dan memeriksa pasien, kami sempat berdoa bersama-sama didepan honai pasien.

kondisi pasien dan bayinya
Didalam honai nampak seorang ibu terbaring dengan seorang bayi mungil dalam pelukannya. Nampak tali pusat bayi tersebut masih menyambung, dan belum dipotong. Kondisi ibu ini nampak agak lemah, tapi masih tergolong cukup baik. Ibu ini juga masih bisa berkomunikasi dengan baik. Kemudian aku periksa ibu ini sebentar sambil mempersiapkan peralatan. Ibu ini aku infus, aku beri suntikan antibiotik dan kemudian aku gunting tali pusat bayinya. Namun aku kemudian ngga melakukan tindak lanjutan alias “periksa dalam” ataupun mencoba mengeluarkan plasentanya dari kandungan ibu ini ….ngga, aku ngga lakukan itu… 
Alasannya, pertama karena tabu bagi pasien perempuan untuk diperiksa “dalemannya” oleh dokter laki-laki. Alasan kedua adalah: takut terjadi komplikasi. Gimana kalo pas dilakukan tindakan kemudian terjadi perdarahan?? Dan pasien yang tadinya dalam kondisi stabil malah jadi perdarahan…… repot juga nanti, karena lokasinya “in the middle of nowhere”, belum lagi nanti reaksi keluarganya…. Berabe deh kalo sampe terjadi apa-apa dan ntar malah aku yang disalahin keluarganya…. 
Makanya aku cari amannya aja, save the baby dan menyiapkan ibu ini untuk dirujuk.

Karenanya kemudian aku jelaskan ke keluarganya kalo ibu ini harus dirujuk, karena keadaan ini merupakan keadaan darurat yang dapat mengancam nyawa sang ibu dan membutuhkan penanganan segera. Awalnya aku tanyakan apakah keluarga bisa membawa pasien ini ke landasan pesawat karena besok pagi ada pesawat yang akan datang. Namun keluarga tidak menyanggupi, alasannya karena kondisi pasien ini cukup lemah….keluarga takut terjadi apa-apa diperjalanan. Disamping itu juga karena jembatan disungai hanyut karena banjir, dan yang ada hanya jembatan darurat dari sebatang pohon yang tentu saja berbahaya jika disebrangi dengan membawa pasien dengan tandu.

Oke…karena pasien ini tidak bisa kita bawa ke landasan pesawat, maka kita terpaksa harus menggunakan alternatif rujukan yang lain: Menggunakan Helicopter!

mempersiapkan tempat untuk pendaratan helicopter
Kamipun kemudian berunding dengan pihak keluarga pasien mengenai mekanisme dan persiapan yang harus dilakukan dalam merujuk pasien menggunakan helicopter. Aku sempat bilang kalo biasanya pihak Helli Vida tidak mau menjemput pasien yang jaraknya relatif dekat dengan landasan pesawat (kampung ini berjarak 1,5 – 2 jam jalan kaki dari landasan pesawat – ukuran yang relatif dekat untuk standar orang sini). Tapi aku bilang kami akan tetap berusaha mencoba untuk memanggil pihak Helli Vida, dan akan memberikan tanda dengan asap apabila panggilan kami berhasil. Kemudian kamipun meninjau dan mempersiapkan tempat untuk pendaratan heli. Mantri Parkim kemudian memerintahkan pihak keluarga untuk menebang pohon disekitar tempat tersebut agar nantinya heli bisa mendarat di situ.

Setelah selesai, kamipun kemudian kembali pulang ke Mugi. Waktu itu hanya aku dan mantri Parkim saja yang pulang….sedangkan Pak Marthen dan istrinya masih harus menunggui pasien karena pasien dalam keadaan terpasang infus. Pas pulang, keluarga pasienpun tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan memberiku seekor ayam, beberapa buah pisang dan sayur labu siam. Lumayan buat dimasak dirumah….hehehe

pisang dan sayuran dari pasien

Ternyata pas perjalanan pulang hujan turun dengan derasnya, dan aku ngga bawa payung…..perfect!!



Kontak Helli Vida
Keesokan harinya aku dan mantri Parkim berbagi tugas, dia berusaha menghubungi kembali Helli Vida lewat radio SSB (setelah sore kemarin dia juga sudah coba mengontaknya). Sedangkan tugasku menyampaikan pesan ke Helli Vida melalui perantara pilot dari Pesawat AMA yang datang pagi itu.

Singkat cerita, kamipun berhasil mengkontak Helli Vida dan mereka rencananya akan datang pada flight ke – 2. Kamipun memberi tanda berhasil dengan menggunakan asap, supaya keluarga pasien di bukit sebelah bisa melihat kode ini dan mempersiapkan diri.


Beress…sekarang tinggal nunggu helinya datang…

Akupun pulang dulu ke rumah untuk masak dan sarapan. Selesai masak dan ketika aku sedang makan…tiba-tiba terdengar suara helicopter terbang mendekat. Awalnya aku pikir pilot tersebut sudah mengetahui lokasi kampung yang dituju….eh ternyata....gara2 keluarga pasien ngga ngasih kode ke pilot, akhirnya pilot tersebut sempat bingung dan terbang berputar-putar di mugi. Setelah berputar-putar beberapa kali, akhirnya heli tersebut memilih mendarat di ujung bawah landasan. Akupun kemudian berlari dari rumah menuju heli tersebut, tujuannya memberi tahu pilot lokasi dari pasien yang akan dijemput. Rupanya kedatangan heli ini membuat semua orang antusias….anak-anak sekolah yang sedang belajar di kelas, bahkan para gurunyapun berhamburan keluar kelas. Rupanya mereka penasaran pengen liat heli….. :D

Anak sekolah dan para guru berhamburan keluar kelas demi sang heli.... :D

 (di sini, pesawat memang merupakan hiburan satu-satunya bagi masyarakat….namanya juga di tempat terpencil yang tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa tv…makanya kalo ada pesawat yang datang, masyarakat banyak yang berkumpul untuk menonton. Anak sekolah dan para gurupun kadang ikut2an keluar dari kelas buat nonton pesawat yang datang….sekali lagi, namanya juga dipedalaman….hehehe)



Setibanya di lokasi heli, akupun menemui pilotnya. Aku memperkenalkan diri dan kamudian menunjukkan lokasi kampung si pasien. Aku juga jelaskan ke pilotnya bahwa kami sudah mempersiapkan tempat untuk pendaratan heli di kampung tersebut. Kemudian pilot tersebut naik kembali dan membawa helinya terbang ke kampung wanduama atas. Heli tersebut mendarat selama kurang lebih 20 menit disana. Setelah itu heli itupun terbang dengan membawa pasien dan keluarganya. 

Sungguh, ada perasaan bahagia luar biasa melihat heli itu bisa terbang membawa pasien menuju Wamena….ya maklumlah, karena rujukanku kali ini tergolong berhasil dibanding rujukanku menggunakan heli sebelumnya yang bisa dibilang gagal.

Kurang lebih satu minggu kemudian, Pasien ini sudah kembali ke Mugi. Rupanya penanganan dan pengobatan terhadap pasien ini di Kota Wamena berjalan dengan baik. Pasienpun kemudian kembali kekampungnya, dengan berjalan kaki menggendong bayinya….dan keduanya berada dalam kondisi yang sehat. Alhamdulillah….. :)


Mugi, maret 2013 




Dokumentasi perjalanan seru kali ini:
berangkat,,,

mendaki gunung....turuni lembah...
sungai mengalir indah....ke samudera...

capek euy...
lanjut...
awas longsor!
membelah hutan

akhirnya, nyampe juga......nampak mugi dikejauhan...
berdoa bersama untuk kesembuhan pasien...
heli mendarat di kampung wanduama atas....amazing!


No comments:

Post a Comment