running text

WELCOME TO MY BLOG...

Friday, September 7, 2012

Malangnya Pasienku Ini..

(WARNING!!! fotonya sedikit agak ngeri...)



Miris rasanya kalau aku ingat tentang pasienku yang satu ini… Bagaimana tidak, anak kecil yang bernama Inco (nama samaran) ini sudah harus kehilangan jari-jari tangannya di usia yang masih sangat dini, usia batita (dibawah tiga tahun)… beneran deh, miris banget rasanya kalau harus mengingat pasienku yang satu ini. Aku turut prihatin atas kejadian malang yang menimpanya…. :(

Anak ini mengalami kejadian naas, yaitu terpotong jari-jari tangan kirinya hingga putus total sebanyak dua jari, yaitu jari telunjuk dan jari tengahnya. Sebetulnya jari manisnyapun ikut terpotong, tapi tidak putus total. Walaupun tulangnya sudah terpotong total, namun kulit bagian telapak jari tersebut masih tersambung….

Kejadian ini berlangsung pada tanggal 9 Agustus 2012 kemarin. Waktu itu kurang lebih jam 3 sore…aku lagi baca-baca didalam kamarku. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Lalu kemudian aku buka pintu rumahku, ternyata disana ada 3 orang ibu2 dan dua anak kecil. Para ibu itu kemudian bicara satu sama lain dalam bahasa daerah….selintas ada kata-kata almbarsu (mencret), misalo (beringus) dan kong-kong (batuk-batuk) yang terucap. Aku mengira, ah palingan ibu2 ini mau memeriksakan anaknya yang sakit….  tapi dalam hati; “….aduuuhhh ibuuu,,,,kenapa ngga tadi aja sih pas di Puskesmas?? Sore kan waktunya istirahat…apalagi ni bulan puasa, aku kan harus hemat2 tenaga….” Begitulah yang ada dalam pikiranku.

(di Nduga tidak berlaku sistem praktek swasta, jadi walaupun pasien datang diluar jam kerja tetap saja mereka tidak dipungut bayaran alias gratis..)

Lalu tiba2 seorang ibu menurunkan noken dari gendongannya. Ternyata ibu tersebut membawa seorang anak kecil didalam noken tersebut…sampe sini aku masih belum ngeh maksud mereka, karena mereka bicara dalam bahasa lokal dan mereka ngga bisa Bahasa Indonesia. Baru deh setelah ibu itu membuka balutan kain yang membalut tangan anak kecil tersebut……

Inco terlihat sedih memandangi jari2 tangannya yg putus
Ealahhh….aku langsung lemes….ngeri rasanya lihat pemandangan yang terhampar di depanku. Aku melihat ternyata anak tersebut, yang usianya mungkin baru 2,5 – 3 tahun, mengalami luka yang sangat serius…..dua jari tangannya putus! Dan satu jari lainnyapun sudah lunglai, nyaris putus juga….dan darah segar tampak masih keluar dari lukanya… Lukanya mungkin cukup mengerikan, tapi yang bikin aku lebih ngeri  adalah kenyataan bahwa yang mengalami luka ini adalah seorang anak yang masih sangat kecil!! Miris banget aku ngeliatnya….

Aku memperhatikan lukanya dengan seksama untuk melihat kemungkinan tindakan apa yang bisa aku lakukan pada luka tersebut. Tak lama kemudian aku masuk kamar untuk mengambil perlengkapanku dan lalu kamipun berjalan bersama-sama menuju Puskesmas.


Sesampainya di Puskesmas, akupun segera menyiapkan alat2 yang dibutuhkan. Karena sore itu bertepatan dengan jam “online” radio SSB, maka di sekitar Puskesmas terdapat cukup banyak orang. Dan berita tentang adanya seorang anak yang putus jari tangannya segera saja menyebar ke lingkungan sekitar Puskesmas, hingga menyebabkan beberapa orang datang karena penasaran ingin melihatnya.

Sambil menyiapkan alat-alat yang diperlukan untuk menjahit pasien, dgn dibantu orang2 yg ada disitu sebagai penerjemah, akupun bertanya kepada ibu pasien mengenai kronologis kejadiannya. Ternyata kejadiannya tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami oleh Notinggen, yaitu ada saudara pasien ini (kakak perempuan pasien yang ternyata juga masih kecil, berumur sekitar 7 tahunan) yang sedang membelah kayu bakar dengan menggunakan kampak dan kemudian entah bagaimana kejadiannya, mengenai tangan si Inco hingga menyebabkan dua jari tangan kirinya putus total dan satu jari lainnya terpotong hingga 2/3 bagian.

dua jari putus total dan satu jari lainnya nyaris putus

Setelah semua alat siap, akupun segera “mengerjakan” pasienku ini. Tidak ada asisten yang mendampingiku kala itu karena kebetulan kapusku sedang ada di kota (Wamena), dan mantri yang lainpun tidak ada dilokasi. Jadilah kemudian aku “mengerjakan” pasien ini seorang diri, dari mulai menyiapkan alat, menjahit luka, menggunting benangnya,  membalut lukanya, menyiapkan obat, sampe mencuci alat-alat sehabis digunakanpun aku lakukan sendiri…..fiuuhhh….komplit dah!! Tapi karena di Mugi ini aku udah terbiasa kerja sendiri, jadinya aku udah ngga terlalu kesulitan lagi mengerjakan semuanya..

Seperti biasanya, pertama-tama kulit di sekitar luka, tepatnya di pangkal ketiga jari tersebut aku bersihkan. Kemudian aku menyuntikkan cairan anestesi (bius) dipangkal jari2 tersebut. Hebatnya, Inco ini tidak menangis waktu aku suntik cairan anestesi tersebut, padahal total ada 6 kali tusukan yang aku lakukan untuk membius ketiga jarinya. Memang dia sempat dua kali meringis dan dan hampir menangis, tapi setelah ditenangkan oleh ibunya, diapun tidak jadi menangis.

Setelah menyuntikkan cairan anestesi, kemudian akupun membersihkan luka-luka di tangannya. Setelah bersih, barulah kemudian aku menjahit luka-luka ditangannya. Yang pertama aku jahit adalah kedua jari Inco yang telah putus. Karena darah masih keluar  lukanya maka akupun mencari sumber dari perdarahan tersebut. Rupanya perdarahan tersebut berasal dari pembuluh darah arteri yang terpotong. Segeralah kemudian aku meligasi (mengikat)  pembuluh darah tersebut. Total ada dua pembuluh darah arteri yang aku ikat. Setelah itu kemudian aku cek lagi apakah perdarahannya masih ada atau tidak. Dan setelah memastikan perdarahannya sudah berhenti, akupun mulai menjahit lukanya….

Proses penjahitan luka
Niatnya aku mau merekatkan kedua kulit di punggung jari dan telapak jari sehingga bisa menutup lukanya. Namun apa daya, ternyata kulitnya tidak mencukupi, sehingga aku hanya bisa berusaha untuk mendekatkan ujung kedua kulit tersebut sedekat mungkin. Agak sulit memang kalo kerja sendirian, dan waktunyapun jadi agak lama…. Aku yang kebetulan kerja sambil duduk jongkokpun sempat pegel-pegel dan sempat berdiri untuk stretching beberapa kali…begitupun pasiennya, dia yang awalnya duduk jongkok, sempat merubah posisi duduknya, mungkin karena pegel juga kali…

Inco ini hebat, bahkan menurutku lebih hebat dari Notinggen. Dia yang jarinya putus, tidak menangis dan tidak terlihat ketakutan melihat lukanya….padahal sekali lagi, usianya mungkin barulah 2,5 – 3 tahun, lebih muda dan lukanyapun lebih menyeramkan di banding Notinggen. Dan lucunya, ketika dijahit….dia bukannya menangis atau menjerit….tapi malah menguap alias mengantuk! Aku sempat geli juga sewaktu melihat Inco menguap dua kali selama proses penjahitan…. Dalam hati, “busyet dah ni anak, bukannya menangis atau takut lihat luka atau jarum jahit…..eehhh, dia malah nguap…”

Selesai menjahit kedua jarinya yang putus total, akupun melanjutkan dengan “mengerjakan” jari manisnya. Sebetulnya jari ini pun sudah hampir putus, karena 2/3 jari ini sudah terpotong. Tulangnyapun sudah putus total. Namun karena aku lihat dia masih bisa menggerakkan jari manisnya tersebut, di tambah lagi karena lukanya masih baru…..maka aku putuskan untuk menyambung jari tersebut dan berharap semoga jari manisnya ini masih bisa untuk diselamatkan.

Singkat cerita, jari manisnyapun selesai aku jahit. Setelah mengolesi dengan salep antibiotik dan membungkus lukanya dengan kain kassa yang sudah diberi betadin. Akupun kemudian membalut lukanya dengan kain verban. Disinilah aku kemudian menemui kesulitan….karena tulangnya potong, aku harus memfiksasi jari manis si pasien agar proses penyambungan tulang bisa berlangsung dengan baik. Aku berfikir dan melihat sekeliling ruangan untuk mencari kira-kira apa ya alat atau bahan yang bisa digunakan sebagai bidai untuk memfiksasi jari ini. Pakai potongan kardus? Aku takutnya kurang kuat… pakai kayu? Ngga ada potongan kayu di Puskesmas…

Aku kemudian berhenti sejenak dan lalu meminta orang-orang yang ada disitu untuk mencari potongan kayu papan. Tidak berapa lama kemudian ada seorang bapak yang datang membawa sebuah potongan papan kecil. Lalu aku meminta kepada seorang pemuda yang ada disitu untuk memotong papan sesuai ukuran yang aku minta…. Selesai dipotong, pemuda tersebut kemudian menyerahkan potongan papan tersebut ke aku… aku lihat, ahh, kayaknya masih kegedean nih…..dan benar saja, rupanya potongan papan tersebut masih terlalu besar dan tidak pas ketika dipasang. Akupun meminta pemuda yang bernama Kendenpruk ini untuk memotongnya menjadi ukuran yang lebih kecil lagi…

Sambil menunggu kendenpruk memotong papan tersebut, akupun masih berfikir mengenai kemungkinan alat yang bisa aku gunakan sebagai bidai. Mataku lalu memperhatikan ke sekeliling ruangan Puskesmas… aku melihat dua buah sendok yang ada di Puskesmas…”hmmm…mungkin bisa nih…” gumamku dalam hati. Akupun mengambil salah satu sendok tersebut. Kemudian aku coba mengukur dan mempaskan gagang sendok tersebut dengan jari pasien…. Perfect!! Ternyata ukurannya pas…dan gagang sendokpun aku anggap cukup kuat untuk bisa dijadikan sebagai bidai jari pasien. Akupun kemudian mematahkan gagang sendok tersebut yang panjangnya sudah aku ukur sebelumnya. Sementara Kendenpruk masih sibuk memotong kayu di luar Puskesmas, aku membalut gagang sendok dan kemudian memasangnya sebagai bidai di jari pasien. Lalu akupun membalut tangan pasien. Ketika aku sedang membalut tangan pasien, Kendenpruk datang dengan potongan kayunya yang sudah selesai dikerjakannya. Tapi kemudian orang2 disitu berkata kepada Kendenpruk…”Abu po…(sudah mas)”. Maksudnya, “bidainya sudah ada mas, jadi kayunya ngga kepake”…hehehe…

Kendenpruk tidak kecewa, atau setidaknya tidak terlihat kecewa walaupun hasil pekerjaannya tidak jadi dipakai. Dia lalu membantuku memasang perban ditangan pasien dan kemudian memplesternya. Selesai memasang perban, aku kemudian meminta bapak si pasien untuk membuang sampah plastik, kardus alas dan lainnya ke tempat sampah, sementara aku membereskan alat-alat dan kemudian mencucinya.

Selesai itu, aku kemudian menyiapkan obat untuk diminum pasien dirumah. Kemudian aku menyerahkan obat kepada pasien, menjelaskan aturan minumnya, memberi beberapa nasihat tentang perawatan lukanya, dan karena diluar sedang hujan, akupun tak lupa memberikan sebuah plastik untuk melindungi balutan luka tersebut dari air hujan. Setelah dianggap mengerti akupun memperbolehkan pasien untuk pulang dan memintanya untuk datang kontrol hari selasa. Setelah itu merekapun pulang…

Setelah itu aku kemudian merapikan dan menyimpan alat-alat jahit ditempatnya semula. Oh tidak, ternyata hari sudah sore dan jam menunjukkan sudah lebih dari jam 5. Akupun bergegas pulang untuk masak menu berbuka puasa. Hari itu rencananya aku mau buka pake mie goreng ala darakma, alias mie instant yang digoreng dengan ditambah daun ubi sebagai sayurannya…. :D


Inco kontrol

Hari selasa, tepat seperti yang aku minta…. Ibu inco datang untuk kontrol. Pagi2 jam setengah delapan dia sudah datang, bahkan aku belum siap buat berangkat ke Puskesmas. Pagi itu dia ngetuk pintu rumahku. Aku membuka pintu dan kulihat ada seorang ibu dengan anaknya yang terbalut tangannya. Ahhh…rupanya pagi sekali mereka datang. Kemudian aku bilang sama ibunya untuk berangkat duluan ke Puskesmas dan tunggu disana, nanti aku menyusul dari belakang. Ibu inco yang memang ngga bisa berbahasa Indonesia kemudian bicara agak panjang lebar dalam bahasa Nduga. Aku yang ngga mengerti sebagian besar ucapannya hanya bilang “iyo…iyo…” saja.

Kemudian ibunya inco ini mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah dan menyodorkannya ke aku. Aku yang masih belum ngerti maksudnya kemudian bertanya…

“ini untuk apa? untuk an (saya) kah??”

Ibu itu menjawab…lagi2 dalam bahasa Nduga yang aku ngga mengerti… tapi sambil bicara dia menunjuk balutan tangan inco dan menunjuk uang itu dan aku… Oooohhhh, rupanya ibu ini memberikan uang ini sebagai uang terima kasih atas tindakan penjahitan luka yang aku lakukan terhadap anaknya. Kadang kalo ada pasien yang luka-luka dan perlu dijahit….aku memang ngga meminta uang jasa, walaupun mereka datang diluar jam kerja (sore hari atau pas hari libur), tapi beberapa orang kadang memberikan uang sebagai tanda terima kasihnya…cuma 3 orang sih…2 orang yang sebelumnya memberiku masing2 50 ribu (ibunya notinggen dan pasien kenmali), dan kemudian ibu ini yang memberiku 100 ribu. Kemudian akupun menerima uang itu dan mengucap terima kasih ke ibu itu. Ibu itu lalu mengeluarkan beberapa buru (ubi) dari nokennya dan memberikannya kepadaku. Akupun menerima ubi pemberian tersebut dan tidak lupa mengucap “waahh…waahh….(terima kasih…terima kasih).  Lalu akupun mengulang perkataanku agar ibu itu berangkat duluan ke Puskesmas dan menunggu disana. Ibu itu menurut dan lalu pergi ke Puskesmas…

Setelah mencuci muka dan kemudian berganti pakaian, tak berapa lama kemudian akupun berangkat ke Puskesmas. Karena hari ini adalah hari pasar (selasa) maka di perjalanan aku menemui banyak ibu2 yang juga berangkat kearah Puskesmas…(karena memang “pasar”nya ada tepat didepan Puskesmas). Sesampainya di Puskesmas beberapa pasien lalu mengikuti masuk ke dalam Puskesmas, tapi rupanya Inco tidak ada diantara pasien2 ini. akupun keluar dan memanggil-manggil Inco….tak berapa lama diapun nongol dengan di temani ibunya. Jadilah dia pasien pertama yang aku layani hari itu (dan hari2 seterusnya pas jadwal kontrolnya dia).

Sebelum aku buka balutannya, aku membasahinya dengan air. Rupanya lukanya yang belum kering membuat guyuran air tersebut terasa perih dilukanya. Incopun menangis….. aduhh…tangisannya bener-bener memilukan…. :(
Dan benar saja, lukanya ternyata belum kering. Akupun lalu mengamati perkembangan lukanya, membersihkannya, mengolesi dengan salep antibiotik dan kemudian membalutnya lagi. Setelah memberi obat akupun memperbolehkannya pulang dan memberitahu ibu tersebut untuk kontrol lagi nanti.

Inco kontrol
Hari-hari berikutnya Inco selalu datang kontrol tepat waktu. Proses penyembuhan lukanya barjalan dengan baik dan syukurnya tidak ada komplikasi yang berarti (infeksi misalnya). Jari manisnyapun aku lihat masih bagus, ujung jarinya warnanya masih baik yang menandakan perfusinya masih baik dan bisa digerakkan oleh pasien. Dalam hati aku bersyukur karena walaupun anak ini kehilangan dua jari tangannya, tapi setidaknya ada satu jari tangan yang masih bisa diselamatkan. Dan beberapa minggu kemudian balutan dilukanya sudah bisa di lepas, hanya saja spalk atau bidai di jari manisnya belum bisa dilepas agar proses penyambungan tulangnya bisa berjalan dengan baik dan baru bisa dilepas ketika sambungan tersebut sudah cukup kuat. Aku bilang ke ibunya supaya spalk tersebut jangan dibuka dan nanti dibukanya satu bulan kemudian….semoga saja nanti hasilnya bisa betul2 baik, seperti yang kita harapkan…   
Beberapa minggu kemudian...
Mugi, Agustus - September 2012


9 comments:

  1. Yang motret sapa?
    Kasihan ya si Inco, sekaligus tangguh.

    meng ngemeng, kalau aku comment as wordpress, kenapa gak mau ya?

    Salam
    Evia

    ReplyDelete
  2. Yg motretnya saya atau anak/pemuda lokal mba...

    Iya, saya juga kagum mba...mereka emang tangguh. Soalnya dari kecil memang sudah diajari begitu oleh alam dan lingkungannya... :mantabs

    Soal itu saya ngga tau mba, knp bisa ya?

    *gaptek

    ReplyDelete
  3. Udah, pindah aja ke wordpress. Hehehehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ribet mba harus start semuanya dari awal lagi...apalagi harus bikin diwarnet dgn speed tulalit. Biar deh saya mah jadi rakyat republik blogspot sajah....hehehe

      Delete
  4. saluut banget sama pengabdianmu mas...luar biasa

    ReplyDelete
  5. Wahhh....biasa aja koq mba, banyak yang pengabdiannya lebih hebat, hanya tidak terekspose....merekalah pengabdi sesungguhnya.

    ReplyDelete
  6. Hbat,,, anak skecil itu gak nangis
    Malah santai aja mlihat jarinya yg putus

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya betul....memang jagoan si Inco ini, hebatt!!

      Delete