Miris rasanya kalau aku ingat tentang pasienku yang satu
ini… Bagaimana tidak, anak kecil yang bernama Inco (nama samaran) ini sudah
harus kehilangan jari-jari tangannya di usia yang masih sangat dini, usia
batita (dibawah tiga tahun)… beneran deh, miris banget rasanya kalau harus
mengingat pasienku yang satu ini. Aku turut prihatin atas kejadian malang yang menimpanya…. :(
Anak ini mengalami kejadian naas, yaitu terpotong jari-jari
tangan kirinya hingga putus total sebanyak dua jari, yaitu jari telunjuk dan
jari tengahnya. Sebetulnya jari manisnyapun ikut terpotong, tapi tidak putus
total. Walaupun tulangnya sudah terpotong total, namun kulit bagian telapak
jari tersebut masih tersambung….
Kejadian ini berlangsung pada tanggal 9 Agustus 2012
kemarin. Waktu itu kurang lebih jam 3 sore…aku lagi baca-baca didalam kamarku.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku. Lalu kemudian aku buka
pintu rumahku, ternyata disana ada 3 orang ibu2 dan dua anak kecil. Para ibu itu kemudian bicara satu sama lain dalam bahasa
daerah….selintas ada kata-kata almbarsu
(mencret), misalo (beringus) dan kong-kong (batuk-batuk) yang terucap.
Aku mengira, ah palingan ibu2 ini mau memeriksakan anaknya yang sakit…. tapi dalam hati; “….aduuuhhh ibuuu,,,,kenapa
ngga tadi aja sih pas di Puskesmas?? Sore kan
waktunya istirahat…apalagi ni bulan puasa, aku kan harus hemat2 tenaga….” Begitulah yang
ada dalam pikiranku.
(di Nduga tidak berlaku sistem praktek swasta, jadi walaupun
pasien datang diluar jam kerja tetap saja mereka tidak dipungut bayaran alias
gratis..)
Lalu tiba2 seorang ibu menurunkan noken dari gendongannya.
Ternyata ibu tersebut membawa seorang anak kecil didalam noken tersebut…sampe
sini aku masih belum ngeh maksud
mereka, karena mereka bicara dalam bahasa lokal dan mereka ngga bisa Bahasa
Indonesia. Baru deh setelah ibu itu membuka balutan kain yang membalut tangan
anak kecil tersebut……
Inco terlihat sedih memandangi jari2 tangannya yg putus |
Aku memperhatikan lukanya dengan seksama untuk melihat
kemungkinan tindakan apa yang bisa aku lakukan pada luka tersebut. Tak lama
kemudian aku masuk kamar untuk mengambil perlengkapanku dan lalu kamipun
berjalan bersama-sama menuju Puskesmas.
Sesampainya di Puskesmas, akupun segera menyiapkan alat2
yang dibutuhkan. Karena sore itu bertepatan dengan jam “online” radio SSB, maka di sekitar Puskesmas terdapat cukup banyak
orang. Dan berita tentang adanya seorang anak yang putus jari tangannya segera
saja menyebar ke lingkungan sekitar Puskesmas, hingga menyebabkan beberapa orang
datang karena penasaran ingin melihatnya.
Sambil menyiapkan alat-alat yang diperlukan untuk menjahit
pasien, dgn dibantu orang2 yg ada disitu sebagai penerjemah, akupun bertanya kepada ibu pasien mengenai kronologis kejadiannya.
Ternyata kejadiannya tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami oleh Notinggen, yaitu ada saudara pasien ini (kakak
perempuan pasien yang ternyata juga masih kecil, berumur sekitar 7 tahunan)
yang sedang membelah kayu bakar dengan menggunakan kampak dan kemudian entah
bagaimana kejadiannya, mengenai tangan si Inco hingga menyebabkan dua jari
tangan kirinya putus total dan satu jari lainnya terpotong hingga 2/3 bagian.
dua jari putus total dan satu jari lainnya nyaris putus |
Setelah semua alat siap, akupun segera “mengerjakan” pasienku ini. Tidak ada asisten yang mendampingiku kala itu karena kebetulan kapusku sedang ada di kota (Wamena), dan mantri yang lainpun tidak ada dilokasi. Jadilah kemudian aku “mengerjakan” pasien ini seorang diri, dari mulai menyiapkan alat, menjahit luka, menggunting benangnya, membalut lukanya, menyiapkan obat, sampe mencuci alat-alat sehabis digunakanpun aku lakukan sendiri…..fiuuhhh….komplit dah!! Tapi karena di Mugi ini aku udah terbiasa kerja sendiri, jadinya aku udah ngga terlalu kesulitan lagi mengerjakan semuanya..
Seperti biasanya, pertama-tama kulit di sekitar luka,
tepatnya di pangkal ketiga jari tersebut aku bersihkan. Kemudian aku
menyuntikkan cairan anestesi (bius) dipangkal jari2 tersebut. Hebatnya, Inco
ini tidak menangis waktu aku suntik cairan anestesi tersebut, padahal total ada
6 kali tusukan yang aku lakukan untuk membius ketiga jarinya. Memang dia sempat
dua kali meringis dan dan hampir menangis, tapi setelah ditenangkan oleh
ibunya, diapun tidak jadi menangis.
Setelah menyuntikkan cairan anestesi, kemudian akupun
membersihkan luka-luka di tangannya. Setelah bersih, barulah kemudian aku menjahit
luka-luka ditangannya. Yang pertama aku jahit adalah kedua jari Inco yang telah
putus. Karena darah masih keluar lukanya
maka akupun mencari sumber dari perdarahan tersebut. Rupanya perdarahan
tersebut berasal dari pembuluh darah arteri yang terpotong. Segeralah kemudian
aku meligasi (mengikat) pembuluh darah
tersebut. Total ada dua pembuluh darah arteri yang aku ikat. Setelah itu
kemudian aku cek lagi apakah perdarahannya masih ada atau tidak. Dan setelah
memastikan perdarahannya sudah berhenti, akupun mulai menjahit lukanya….
Proses penjahitan luka |
Inco ini hebat, bahkan menurutku lebih hebat dari Notinggen.
Dia yang jarinya putus, tidak menangis dan tidak terlihat ketakutan melihat
lukanya….padahal sekali lagi, usianya mungkin barulah 2,5 – 3 tahun, lebih muda
dan lukanyapun lebih menyeramkan di banding Notinggen. Dan lucunya, ketika
dijahit….dia bukannya menangis atau menjerit….tapi malah menguap alias
mengantuk! Aku sempat geli juga sewaktu melihat Inco menguap dua kali selama
proses penjahitan…. Dalam hati, “busyet dah ni anak, bukannya menangis atau
takut lihat luka atau jarum jahit…..eehhh, dia malah nguap…”
Selesai menjahit kedua jarinya yang putus total, akupun melanjutkan dengan “mengerjakan” jari
manisnya. Sebetulnya jari ini pun sudah hampir putus, karena 2/3 jari ini sudah
terpotong. Tulangnyapun sudah putus total. Namun karena aku lihat dia masih bisa
menggerakkan jari manisnya tersebut, di tambah lagi karena lukanya masih baru…..maka
aku putuskan untuk menyambung jari tersebut dan berharap semoga jari manisnya
ini masih bisa untuk diselamatkan.
Singkat cerita, jari manisnyapun selesai aku jahit. Setelah
mengolesi dengan salep antibiotik dan membungkus lukanya dengan kain kassa yang
sudah diberi betadin. Akupun kemudian membalut lukanya dengan kain verban.
Disinilah aku kemudian menemui kesulitan….karena tulangnya potong, aku harus
memfiksasi jari manis si pasien agar proses penyambungan tulang bisa
berlangsung dengan baik. Aku berfikir dan melihat sekeliling ruangan untuk
mencari kira-kira apa ya alat atau bahan yang bisa digunakan sebagai bidai
untuk memfiksasi jari ini. Pakai potongan kardus? Aku takutnya kurang kuat…
pakai kayu? Ngga ada potongan kayu di Puskesmas…
Aku kemudian berhenti sejenak dan lalu meminta orang-orang
yang ada disitu untuk mencari potongan kayu papan. Tidak berapa lama kemudian
ada seorang bapak yang datang membawa sebuah potongan papan kecil. Lalu aku
meminta kepada seorang pemuda yang ada disitu untuk memotong papan sesuai
ukuran yang aku minta…. Selesai dipotong, pemuda tersebut kemudian menyerahkan
potongan papan tersebut ke aku… aku lihat, ahh, kayaknya masih kegedean
nih…..dan benar saja, rupanya potongan papan tersebut masih terlalu besar dan
tidak pas ketika dipasang. Akupun meminta pemuda yang bernama Kendenpruk ini
untuk memotongnya menjadi ukuran yang lebih kecil lagi…
Sambil menunggu kendenpruk memotong papan tersebut, akupun
masih berfikir mengenai kemungkinan alat yang bisa aku gunakan sebagai bidai.
Mataku lalu memperhatikan ke sekeliling ruangan Puskesmas… aku
melihat dua buah sendok yang ada di Puskesmas…”hmmm…mungkin bisa nih…” gumamku
dalam hati. Akupun mengambil salah satu sendok
tersebut. Kemudian aku coba mengukur dan mempaskan gagang sendok tersebut
dengan jari pasien…. Perfect!!
Ternyata ukurannya pas…dan gagang sendokpun aku anggap cukup kuat untuk bisa
dijadikan sebagai bidai jari pasien. Akupun kemudian mematahkan
gagang sendok tersebut yang panjangnya sudah aku ukur sebelumnya. Sementara
Kendenpruk masih sibuk memotong kayu di luar Puskesmas, aku membalut gagang sendok
dan kemudian memasangnya sebagai bidai di jari pasien. Lalu akupun membalut
tangan pasien. Ketika aku sedang membalut tangan pasien, Kendenpruk datang
dengan potongan kayunya yang sudah selesai dikerjakannya. Tapi kemudian orang2
disitu berkata kepada Kendenpruk…”Abu po…(sudah
mas)”. Maksudnya, “bidainya sudah ada mas, jadi kayunya ngga kepake”…hehehe…
Kendenpruk tidak kecewa, atau setidaknya tidak terlihat
kecewa walaupun hasil pekerjaannya tidak jadi dipakai. Dia lalu
membantuku memasang perban ditangan pasien dan kemudian memplesternya. Selesai
memasang perban, aku kemudian meminta bapak si pasien untuk membuang sampah
plastik, kardus alas dan lainnya ke tempat sampah, sementara aku membereskan
alat-alat dan kemudian mencucinya.
Selesai itu, aku kemudian menyiapkan obat untuk diminum
pasien dirumah. Kemudian aku
menyerahkan obat kepada pasien, menjelaskan aturan minumnya, memberi beberapa
nasihat tentang perawatan lukanya, dan karena diluar sedang hujan, akupun tak lupa memberikan sebuah
plastik untuk melindungi balutan luka tersebut dari air hujan. Setelah dianggap
mengerti akupun memperbolehkan pasien untuk pulang dan memintanya untuk datang
kontrol hari selasa. Setelah itu merekapun pulang…
Setelah itu aku kemudian merapikan dan menyimpan alat-alat
jahit ditempatnya semula. Oh tidak, ternyata hari sudah sore dan jam
menunjukkan sudah lebih dari jam 5. Akupun bergegas pulang untuk masak menu
berbuka puasa. Hari itu rencananya aku mau buka pake mie goreng ala darakma,
alias mie instant yang digoreng dengan ditambah daun ubi sebagai sayurannya….
:D
Inco kontrol
Hari selasa, tepat seperti yang aku minta…. Ibu inco datang
untuk kontrol. Pagi2 jam setengah delapan dia sudah datang, bahkan aku belum
siap buat berangkat ke Puskesmas. Pagi itu dia ngetuk pintu rumahku. Aku
membuka pintu dan kulihat ada seorang ibu dengan anaknya yang terbalut
tangannya. Ahhh…rupanya pagi sekali mereka datang. Kemudian aku bilang sama
ibunya untuk berangkat duluan ke Puskesmas dan tunggu disana, nanti aku
menyusul dari belakang. Ibu inco yang memang ngga bisa berbahasa Indonesia
kemudian bicara agak panjang lebar dalam bahasa Nduga. Aku yang ngga mengerti
sebagian besar ucapannya hanya bilang “iyo…iyo…” saja.
Kemudian ibunya inco ini mengeluarkan selembar uang seratus
ribu rupiah dan menyodorkannya ke aku. Aku yang masih belum ngerti maksudnya
kemudian bertanya…
“ini untuk apa? untuk an
(saya) kah??”
Ibu itu menjawab…lagi2 dalam bahasa Nduga yang aku ngga
mengerti… tapi sambil bicara dia menunjuk balutan tangan inco dan menunjuk uang
itu dan aku… Oooohhhh, rupanya ibu ini memberikan uang ini sebagai uang terima
kasih atas tindakan penjahitan luka yang aku lakukan terhadap anaknya. Kadang
kalo ada pasien yang luka-luka dan perlu dijahit….aku memang ngga meminta uang
jasa, walaupun mereka datang diluar jam kerja (sore hari atau pas hari libur),
tapi beberapa orang kadang memberikan uang sebagai tanda terima kasihnya…cuma 3
orang sih…2 orang yang sebelumnya memberiku masing2 50 ribu (ibunya notinggen
dan pasien kenmali), dan kemudian ibu ini yang memberiku 100 ribu. Kemudian
akupun menerima uang itu dan mengucap terima kasih ke ibu itu. Ibu itu lalu
mengeluarkan beberapa buru (ubi) dari
nokennya dan memberikannya kepadaku. Akupun menerima ubi pemberian tersebut dan
tidak lupa mengucap “waahh…waahh….(terima
kasih…terima kasih). Lalu akupun
mengulang perkataanku agar ibu itu berangkat duluan ke Puskesmas dan menunggu
disana. Ibu itu menurut dan lalu pergi ke Puskesmas…
Setelah mencuci muka dan kemudian berganti pakaian, tak
berapa lama kemudian akupun berangkat ke Puskesmas. Karena hari ini adalah hari
pasar (selasa) maka di perjalanan aku menemui banyak ibu2 yang juga berangkat
kearah Puskesmas…(karena memang “pasar”nya ada tepat didepan Puskesmas).
Sesampainya di Puskesmas beberapa pasien lalu mengikuti masuk ke dalam
Puskesmas, tapi rupanya Inco tidak ada diantara pasien2 ini. akupun keluar dan
memanggil-manggil Inco….tak berapa lama diapun nongol dengan di temani ibunya.
Jadilah dia pasien pertama yang aku layani hari itu (dan hari2 seterusnya pas
jadwal kontrolnya dia).
Sebelum aku buka balutannya, aku membasahinya dengan air.
Rupanya lukanya yang belum kering membuat guyuran air tersebut terasa perih
dilukanya. Incopun menangis….. aduhh…tangisannya bener-bener memilukan…. :(
Dan benar saja, lukanya ternyata belum kering. Akupun lalu
mengamati perkembangan lukanya, membersihkannya, mengolesi dengan salep
antibiotik dan kemudian membalutnya lagi. Setelah memberi obat akupun
memperbolehkannya pulang dan memberitahu ibu tersebut untuk kontrol lagi nanti.
Inco kontrol |
Mugi, Agustus - September 2012
Yang motret sapa?
ReplyDeleteKasihan ya si Inco, sekaligus tangguh.
meng ngemeng, kalau aku comment as wordpress, kenapa gak mau ya?
Salam
Evia
Yg motretnya saya atau anak/pemuda lokal mba...
ReplyDeleteIya, saya juga kagum mba...mereka emang tangguh. Soalnya dari kecil memang sudah diajari begitu oleh alam dan lingkungannya... :mantabs
Soal itu saya ngga tau mba, knp bisa ya?
*gaptek
Udah, pindah aja ke wordpress. Hehehehehe...
ReplyDeleteRibet mba harus start semuanya dari awal lagi...apalagi harus bikin diwarnet dgn speed tulalit. Biar deh saya mah jadi rakyat republik blogspot sajah....hehehe
Deletesaluut banget sama pengabdianmu mas...luar biasa
ReplyDeleteWahhh....biasa aja koq mba, banyak yang pengabdiannya lebih hebat, hanya tidak terekspose....merekalah pengabdi sesungguhnya.
ReplyDeleteHbat,,, anak skecil itu gak nangis
ReplyDeleteMalah santai aja mlihat jarinya yg putus
iya betul....memang jagoan si Inco ini, hebatt!!
DeleteNgeri
ReplyDelete